Beranda | Artikel
Bela Kalimat Tauhid
Kamis, 20 Oktober 2016

Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Kalimat tauhid merupakan cabang keimanan yang tertinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan di dalam hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Apabila disebutkan kata iman saja maka sudah mencakup islam, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi apabila disebutkan islam dan iman secara bersamaan maka iman mengacu pada amalan hati sedangkan islam mengacu pada amalan lahiriah. Amalan lahiriah tanpa amalan batin tidak bermanfaat, sebagaimana halnya keadaan kaum munafikin yang mengucapkan kalimat tauhid dengan lisannya akan tetapi tidak jujur dari dalam hatinya dan mereka pun tidak ikhlas dalam mengucapkannya.

Di dalam al-Qur’an Allah memberikan permisalan kalimat tauhid seperti sebuah pohon yang akarnya kokoh dan cabang-cabangnya menjulang tinggi di langit. Kalimat tauhid inilah yang disebut dengan istilah kalimat thayyibah; kalimat yang baik.

Allah berfirman (yang artinya), “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan sebuah kalimat yang baik seperti sebuah pohon yang bagus; pokoknya kokoh dan cabang-cabangnya menjulang tinggi di langit.” (Ibrahim : 24)

Kalimat tauhid -yang diyakini dan diwujudkan dalam kehidupan- merupakan ucapan yang kokoh atau al-qaul ats-tsaabit yang dikaruniakan Allah kepada kaum beriman. Allah berfirman (yang artinya), “Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh dalam kehidupan dunia dan di akhirat…” (Ibrahim : 27)

Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa yang dimaksud ‘ucapan yang kokoh’ itu adalah kalimat tauhid; yaitu ucapan laa ilaha illallah (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 686)

Kalimat tauhid ini pula yang disebut sebagai buhul tali yang paling kuat atau al-‘urwah al-wutsqa. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah sungguh dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang paling kuat dan tidak akan terputus…” (al-Baqarah : 256). Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak menafsirkan bahwa yang dimaksud ‘buhul tali yang paling kuat’ itu adalah kalimat tauhid (lihat Syahadat an Laa Ilaha Illallah karya Syaikh Dr. Shalih bin Abdul Aziz Sindi hafizhahullah, hal. 29)

Kalimat tauhid ini pula yang disebut sebagai kalimatun sawaa’ atau kalimat yang adil. Sebagaimana yang Allah perintahkan (yang artinya), “Katakanlah; Wahai ahli kitab, marilah kami ajak kalian kepada suatu kalimat yang adil antara kami dengan kalian…” (Ali ‘Imran : 64) (lihat Syahadat an Laa Ilaha Illallah karya Syaikh Dr. Shalih Sindi hafizhahullah, hal. 33)

Orang yang paling berbahagia dengan syafa’at oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kelak pada hari kiamat adalah yang ikhlas dalam mengucapkan kalimat tauhid ini. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku adalah orang yang mengucapkan laa ilaha illallah ikhlas dari hati atau jiwanya.” (HR. Bukhari)

Oleh sebab itu kalimat tauhid yang diwujudkan dalam kehidupan menjadi sebab keberuntungan. Inilah yang diserukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun justru ditolak oleh kaum musyrik. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah laa ilaha illallah niscaya kalian akan beruntung…” (HR. Ahmad dan sanadnya dinyatakan jayyid oleh al-Albani dalam Sahih Sirah) (lihat Syahadat an Laa Ilaha Illallah, hal. 35)

Ilmu tentang makna dan konsekuensi kalimat tauhid inilah yang menjadi sebab keselamatan dari azab neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan mengetahui (berilmu) bahwasanya tidak ada ilah/sesembahan yang haq selain Allah niscaya dia masuk surga.” (HR. Muslim)

Orang yang mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah niscaya dia akan meninggalkan segala bentuk kemusyrikan. Adapun mereka yang mati dalam keadaan berbuat syirik akbar atau tidak bertaubat darinya niscaya dia masuk neraka dan kekal di dalamnya. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan berdoa/beribadah kepada tandingan/sesembahan selain Allah dia masuk neraka.” (HR. Bukhari)

Dengan demikian seorang yang mengucapkan kalimat tauhid haruslah mengingkari segala bentuk kemusyrikan dan peribadatan kepada selain Allah. Karena itulah para rasul menyeru umatnya untuk beribadah kepada Allah semata dan menjauhi thaghut. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Dalam surat az-Zukhruf, Allah mengisahkan ucapan tegas Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada kaumnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya; Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian sembah kecuali dari Dzat yang telah menciptakanku…” (az-Zukhruf : 26-27)

Ayat yang mulia ini menunjukkan wajibnya berlepas diri dari segala bentuk kemusyrikan, dan inilah yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam imamnya ahli tauhid dan sang kekasih ar-Rahman. Beliau tidak membiarkan syirik yang terjadi di hadapannya tanpa pengingkaran. Bahkan beliau mengingkari kemusyrikan itu dengan tegas dan lantang di hadapan kaumnya. Inilah nasihat tulus seorang pejuang dakwah bagi masyarakatnya… Inilah bentuk amar ma’ruf dan nahi mungkar yang telah banyak ditinggalkan atau dilalaikan oleh banyak orang… Demi mengais simpati musuh-musuh Islam atau demi merebut kursi dan jabatan publik…

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti millah dan ajaran Ibrahim ‘alaihis salam– pun ternyata dengan tegas mengingkari kemusyrikan. Diantara contohnya, sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah…” (HR. Muslim). Kemudian lihatlah kenyataan yang dialami sebagian orang di masa kini; yang menyembelih untuk jin penunggu jembatan, yang menyembelih untuk jin penunggu laut selatan, yang menyembelih untuk sang penunggu gunung Merapi?! Dimanakah akal mereka…

Apakah tradisi semacam ini akan tetap dipertahankan dengan dalih untuk melestarikan budaya nenek moyang? Apakah kebiasaan buruk yang mengundang laknat ini akan dilegalkan dengan dalih untuk memelihara kearifan lokal dan menyemarakkan dunia pariwisata?! Atau apakah perbuatan syirik yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin ini akan dibela mati-matian dengan alasan untuk menghormati Hak Asasi Manusia (HAM)? Apakah dengan alasan HAM orang boleh menginjak-injak tauhid dan merusak akidah Islam dengan seenaknya?!

Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki akal pikiran…

14718686_1803714443177090_1758038350701659065_n


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/bela-kalimat-tauhid/